PERADABAN ISLAM DI ASIA
TENGGARA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Semester Genap
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: M. Rikza
Chamami, M.Si
Disusun
oleh:
1.
Dewi Aminatul Zahro’ (133111160)
2.
U’thiya Ni’matur
Robiah (133111162)
3.
Khoirrosyid Oktifu’adi
(133111163)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Umat
Islam merupakan penduduk mayoritas Asia Tenggara, menurut para ahli, islamisasi
di kawasan ini berlangsung secara damai dan melalui proses panjang yang masih
terus berlangsung sampai sekarang. Tidak banyak terjadi penaklukan secara militer,
pergolakan politik, atau pemaksaan struktur kekuasaan dan norma-norma
masyarakat dari luar negeri. Karena itu, tidaklah mudah untuk menjawab
pertanyaan “bilamana”, “mengapa”, “darimana” dan “dalam bentuk apa” Islam mulai
menimbulkan dampak pada masyarakat-masyarakat Asia Tenggara untuk pertama
kalinya. Sesungguhnya, kini kita mulai menyadari bahwa proses Islamisasi ini
mungkin tidak mempunyai awal yang pasti, juga tidak berakhir. Islamisasi
kawasan ini lebih merupakan suatu proses sinambung yang selain mempengaruhi
masa kini, juga masa depan kita.
Selanjutnya kita dapat memperluas kompleksitas agama di
kawasan ini melalui pengamatan bahwa Islam bukanlah agama besar pertama yang
tumbuh subur di lahan subur Asia Tenggara. Sejarah agama di kawasan ini sendiri
kompleks. Pertama Hindu, kemudian Budha, Islam dan belakangan Kristen,
menawarkan model-model yang telah membentuk matriks budaya-agama pribumi selama
ribuan tahun.[1]
Dalam perspektif historis, studi atau kajian Islam di
Asia Tenggara mengandung kompleksitas tersendiri. Harus diakui secara historis,
studi-studi tentang Islam di Asia Tenggara sampai waktu-waktu belakangan lebih
banyak dilakukan kalangan asing daripada sarjana pribumi. Bahkan, terdapat
kesan kuat bahwa studi-studi yang meletakkan paradigma teoritis tentang Islam
di Asia Tenggara hampir semua ditulis sarjana luar, walaupun pandangan mereka
belum tentu sepenuhnya akurat.[2]
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana Sejarah Islam di Asia Tenggara ?
B.
Bagaimana Kemajuan Agama Islam di Asia Tenggara ?
C.
Bagaimana Modernisasi Islam di Asia Tenggara ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Islam di Asia Tenggara
Sejarah Islam di Asia Tenggara, khususnya pada masa awal,
luar biasa galau dan rumit. Kegalauan dan kerumitan itu bukan hanya disebabkan
oleh kompleksitas di sekitar sosok islam itu sendiri sebagaimana direfleksikan
oleh kaum muslimin di kawasan ini, baik melalui historiografi dan
pengkajian-pengkajian sejarah Islam dengan berbagai aspeknya di Asia Tenggara
yang dilakukan kalangan sejarawan asing maupun pribumi. Mereka pun hingga kini
belum mampu merumuskan suatu paradigma historis yang dapat dijadikan pegangan
bersama. Terdapat perbedaan-perbedaan dasar di kalangan para ahli dalam
mengkaji Islam di Asia Tenggara, yang kadang-kadang sulit dipertemukan satu
sama lain.
Di kalangan masyarakat pribumi
sebenarnya tidak kurang pula terdapat historiografi berupa hikayat, silsilah,
babad, cerita, syair dan lain-lain yang mengungkapkan perkembangan awal Islam
diberbagai kawasan Asia tenggara. Namun, para ahli seperti John menilai bahwa
kebanyakan literatur melayu seperti
itu mempunyai nama yang kurang baik, bukan hanya karena selintas tidak menarik,
tetapi bahkan gayanya sulit dijelaskan. Menurutnya, kategori-kategori barat
semacam roman, balada, dongeng, kronik (risalah) atau sejarah tidak cukup
memadai untuk memberikan kerangka yang jelas mengenai karya-karya melayu ini.[3]
Para
pengembara atau wartawan Barat menulis tentang Asia Tenggara, khususnya
bukanlah para ahli. Mereka umumnya membuat catatan-catatan berdasarkan
kunjungan singkat dan kebanyakan mengamati dari daerah perkotaan, sehingga
mereka sebenarnya tidak banyak tahu tentang keadaan nyata penduduk pedesaan,
pola-pola sosial mereka dan lain-lainnya.[4]
Mengenai tempat asal datangnya Islam
ke Asia Tenggara, sedikitnya ada tiga teori besar:
1. Teori yang menyatakan
bahwa Islam datang langsung dari arab, atau tepatnya Hadramaut. Teori ini
dikemukakan Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander
(1861), dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari
arab, meskipun ia menyebut adanya hubungan dengan orang-orang “Mohammedan” di
India Timur. Keyzer beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir yang bermazhab
syafi’i, sama seperti yang dianut kaum muslimin Nusantara umumnya. Teori ini juga dipegang
oleh Niemann dan De Hollander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan mesir,
sebagai sumber datangnya Islam, sebab muslim Hadramaut adalah pengikut mazhab
syafi’i seperti juga kaum muslimin Nusantara. Sedangkan Veth hanya menyebut
“orang-orang arab”, tanpa menunjuk asal mereka di Timur Tengah maupun kaitannya
dengan Hadramaut, Mesir atau India. Teori semacam ini juga diajukan Hamka dalam
seminar “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” pada 1962. Menurutnya Islam ke
Indonesia langsung dari Arab bukan melalui India dan bukan pula pada abad ke-11 melainkan pada abad
pertama Hijriyah atau 7 M.[5]
2. Teori yang mengatakan bahwa Islam datang dari India,
pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan
Prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco Polo, dan Ibnu Battuta, ia
menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermadzhab Syafi’i dari Gujarat dan
Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara.
3.
Teori Fatimi, menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali (kini
Bangladesh). Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya, dari arah pantai
timur, bukan dari barat (Malaka) pada abad ke-11 melalui Kanton, Phanrang
(Vietnam), Leran, dan Trengganu. Beberapa ahli sejarawan menyatakan bahwa teori
Fatimi ini tidak bisa diterima, terutama karena penafsiranya atas prasasti yang
ada dinilai merupakan “perkiraan liar belaka”.[6]
Akhirnya semua teori diatas jelaslah belum final. Meskipun telah banyak
sejarahwan yang menulis tentang masalah ini, kesempatan masih tetap terbuka
bagi munculya penafsiran-penafsiran baru berdasarkan penelitian atas
sumber-sumber sejarah yang ada berdasarkan penelitian dan penulisan lebih
lanjut menyangkut sifat penyebaran Islam di kawasan ini.
B.
Kemajuan Islam di Asia Tenggara
Kedatangan Islam sejak abad 7 sampai abad
ke-12 di beberapa daerah Asia Tenggara dapat dikatakan baru pada tahap
pembentukan komunikasi Islam yang terutama terdiri dari para pedagang. Abad
ke-13 sampai abad ke-16, terutama dengan munculnya kerajaaan bercorak Islam,
merupakan kelanjutan dari penyebaran Islam. Perlu dibedakan antara tahap
kedatangan, penyebaran, dan pembentukan struktur pemerintahan atau kerajaan.
Ketiga tahap tersebut memerlukan waktu dan proses yang panjang, tergantung pada
situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi Islam.
Apabila gelombang pertama hanya
menghasilkan komunitas Muslim yang terutama terdiri dari pedagang Muslim dan
penyebaran Islam yang sangat terbatas, pada gelombang kedua, yang dimulai sejak
abad ke-13, penyebaran Islam lebih mantab dan meluas. Hal ini bisa dilihat
dengan berdirinya kerajaan Islam. Kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara pada
abad ke-13 di pesisir utara Aceh Utara, tepatnya di daerah Lhokseomawe. Sejak
kerajaan Samudera Pasai tumbuh dan berkembang, yang umumnya diterima para ahli
sejarah sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara yaitu sejak abad ke-13 sampai
akhir abad ke-16, pelayaran dan perdagangan antara Muslim dari Arab, Persia,
Irak, India Selatan, dan Srilanka semakin ramai. Mereka bukan hanya mendatangi
ibukota kerajaan Samudera Pasai, tetapi juga meneruskan pelayaran dan
perdagangannya ke negeri-negeri lain di kawasan Asia Tenggara.[7]
Dari sinilah Islam di Asia Tenggara memperlihatkan kemajuan dan
perkembangannya.
Telah disepakati bahwa Islam
pada mulanya mendapatkan kubu-kubu terkuatnya di kota pelabuhan, seperti
Samudra Pasai, Malaka, dan kota-kota pelabuhan lainya di pesisir utara Jawa.
Berangkat dari teori bahwa Islam pada dasarnya adalah urban (perkotaan) dan
bahwa peradaban Islam pada hakekatnya adalah (juga) urban. John menyatakan
bahwa proses Islamisasi di Nusantara bermula dari kota-kota pelabuhan yang ada.
Di perkotaan itu sendiri, Islam adalah fenomena istana. Istana kerajaan menjadi
pusat pengembangan intelektual Islam atas perlindungan resmi penguasa, yang
kemudian memunculkan tokoh-tokoh ulama’ intelektual terkenal semacam Hamzah
Fansuri, Shams al-Din Pasai, Nur al-Din al-Raniri, dan ‘Abd al-Ra’uf
al-Singkili. Tokoh-totkoh ini mempunyai jaringan keilmuan yang luas baik dalam
maupun luar negeri, sehingga menunjang
pengembangan Islam dan gagasan mereka sendiri. Jaringan keilmuan semacam ini
kemudian semakin diperkuat dan diperkaya terutama sejak abad ke-17 oleh tarekat-tarekat
tasawwuf yang berkembang luas di Nusantara. Karakter organis yang
inheren dalam jaringan semacam ini memberikan momentum yang terus-menerus bagi
pengembangan Islam.[8]
Selain itu, kota sebagai pusat
ekonomi mempunyai kemampuan untuk mendukung kegiatan yang berkaitan dengan
pengembangan Islam secara politik, lebih-lebih lagi secara finansial. Relatif
baiknya keadaan ekonomi perkotaan memungkinkan terselenggaranya pembangunan
masjid dan pusat-pusat pengajaran Islam, kegiatan-kegiatan Islam, dan
menimbulkan kemampuan untuk melakukan perjalanan naik haji atau berkeliling
dari satu tempat ke tempat lain guna menyampaikan syiar Islam.[9]
a.
Indonesia
Saat ini, dengan perkiraan
jumlah penduduknya sekitar 165 juta dengan 90% darinya beragama islam,
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Sebagian besar penduduk
Indonesia adalah Muslim. Selain Islam, agama-agama Budha, Hindu, Katolik, dan
Protestan merupakan agama yang diakui negara.[10] Kemajuan dan perkembangan Islam di Indonesia tidak lepas
dari peran kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia dan juga peran perjuangan
dakwah para wali songo dalam menyebarkan agama Islam.
Indonesia
memang bukan negara agama (teokrasi), dan bukan negara Islam, tetapi juga bukan
negara sekuler. Indonesia adalah negara beragama yang mendukung kehidupan
beragama warganya. Hal ini ditegaskan dengan dibentuknya Departemen Agama,
Pengadilan Agama, pembinaan masyarakat beragama, waqaf, dan zakat. Selain itu,
di Indonesia tumbuh dan berkembang banyak organisasi keagamaan, seperti MUI,
ICMI, Muhammadiyah, NU dan lain-lain. Di Indonesia juga telah tumbuh sejak lama
dan berkembang pendidikan agama Islam dari tingkat rendah sampai Perguruan
Tinggi, dari pondok pesantren tradisional sampai yang modern.
Sebagai
kesimpulan, kita dapat melihat betapa ajaran Islam telah meresap ke dalam lubuk
hati sebagian besar bangsa Indonesia, telah berakulturasi sedemikian rupa, dan
telah mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakatnya.[11]
b.
Federasi
Malaysia
Di Malaysia penduduk Muslim tidak lebih dari 55%
dari seluruh jumlah penduduk. Meskipun tidak semua orang Muslim adalah Melayu,
secara konstitusional, orang Melayu mesti Muslim.
Peranan Islam dalam
politik lebih kentara di Malaysia terutama di tahun 1980-an ini sekarang merupakan
faktor krusial baik di tingkat nasional maupun tingkat lokal. Partai Islam (PAS) menyatakan dalam
kampanyenya untuk
membentuk negara Islam. Partai ini mendapat dukungan masyarakat yang cukup
besar di negara-negara yang didominasi oleh Muslim seperti Kelantan, Trengganu,
Kedah, dan Perlis. United Malay
National Organization (UMNO) yang memimpin Front
Nasional menikmati politik graduasi dan memasukkan secara selektif nilai-nilai
Islam ke dalam kebijakan pemerintah dan menunjang tinggi konstitusi Malaysia
sebagai keramat.
Kebijakan Front Nasional
mengenai Islam muncul sebagian karena keinginan untuk menyesuaikan dengan tumbuhnya
harapan dari masyarakat Muslim. Fenomena kebangkitan Islam di Malaysia terutama
di tahun 1980-an, telah merasuk. Kini dimana-mana terdapat tanda-tanda
konformitas yang cukup besar terhadap tata
cara hidup Islam di Malaysia. Juga ada kegairahan yang meningkat akan
kajian-kajian Islam di kalangan kaum Muslim.[12]
c.
Republik
Singapura
Singapura adalah negara
dengan jumlah penduduk 2,5 juta jiwa yang multirasial, multilingual, dan juga
multi agama. Cina merupakan 77 persen dari seluruh penduduk. Kaum melayu merupakan
minoritas, sekitar 15 persen, sementara India hanya 6 persen, dan lainnya hanya 2
persen. Seluruh penduduk Muslim berjumlah 320.000 jiwa, 16% dari seluruh jumlah
penduduk. Jumlah Muslim Cina di Singapura sangat sedikit. Orang-orang Pakistan,
India, dan Arab
merupakan penduduk Muslim lainnnya yang ada di Singapura.
Di Singapura terdapat
sebuah lembaga bernama
MUIS. Yaitu lembaga Majlis Ugama
Islam Singapura yang didirikan dibawah ketentuan Administratif of Muslim Law
Act of 1966. MUIS diberi tanggungjawab untuk mengatur administrasi hukum Islam di Singapura,
seperti mengumpulkan zakat maal dan zakat fitrah, pengaturan perjalanan haji,
organisasi sekolah-sekolah agama, serta pemberian beasiswa bagi pelajar Muslim.
MUIS juga berwenang untuk mengeluarkan fatwa. Pengelolaan delapan puluh masjid di seluruh
Singapura juga diserahkan kepada MUIS. Sejak tahun 1975, lewat Dana Pembangunan
Masjid, MUIS telah membantu memfungsikan masjid
sebagai tempat untuk dakwah dan kegiatan masyarakat Muslim lainnya.
Ada pula lembaga yang
didirikan oleh pemerintah untuk mengangkat status sosio-ekonomi masyarakat
Melayu. Pemerintah menunjukkkan bahwa menciptakan “warga Muslim Singapura lebih
baik di bidang pendidikan sehingga mampu memberikan sumbangan bagi pembangunan Singapura”
merupakan kepentingan
bersama.[13]
d.
Republik
Filipina
Filipina
adalah Negara kepulauan dengan 7107 buah pulau. Penduduknya yang berjumlah 47
juta jiwa menggunakan 87 dialeg bahasa yang berbeda-beda, yang mencerminkan
banyaknya suku dan komunitas etnis. Islam telah mempunyai sejarah yang panjang
di Filipina, sejak zaman prakolonial, dan masyarakat Muslim dibagian Selatan
tercatat sebagai masyarakat yang mampu mempertahankan diri dari penetrasi
Spanyol selama 300 tahun.
Orang-orang Islam di Filipina menamakan
diri mereka Moro. Namun nama itu
sebetulnya lebih bersifat politis, karena dalam kenyataannya Moro terdiri dari
banyak kelompok etnolinguistik, umpamanya Maranao, Manguindanao, Tausug, Samal,
Sangil.
Kaum Muslim di Filipina
yang mendapat pendidikan sekular cenderung mudah menyatu dengan negara
Filipina. Sebaliknya mereka yang tidak mau menerima pendidikan sekular dan
hanya mendapatkan pendidikan agama secara tradisional, biasanya tidak
menghendaki integrasi dengan Filipina. [14]
e.
Negara
Brunei Darussalam
Situasi politik di
Negara Brunei Darussalam tampaknya sangat tenang, hal ini mungkin karena ukuran
negara ini yang kecil. Brunei berpenduduk hanya 200.000 jiwa dengan Kaum Muslim
sebagai mayoritas. Hampir seluruh penduduk Brunei adalah Melayu, meskipun ada
sejumlah kecil kaum
Cina pendatang. Sebagai agama resmi, Islam mendapat lindungan dari negara. Dominasi keluarga kerajaan di bidang pemerintahan dan
tidak adanya demokrasi politik memungkinkan pemerintah memeberlakukan
kebijaksanaan di bidang agama dan kebijaksanaan umum lainya tanpa kesulitan.
f.
Myanmar
Dari segi ukuran,
sesuai dengan sensus penduduk tahun 1983, kaum Muslim merupakan 3,9% dari
seluruh penduduk Burma yang berjumlah 35,3 juta jiwa. Secara geografis masyarakat
Muslim terbesar di seluruh Burma dan merupakan masyarakat urban. Mereka bisa
dijumpai disebagian besar kota-kota di Burma. Kota terbesar seperti Mandalay
dan Rangoon sangat diwarnai oleh masyarakat Muslim. Terdapat pula sejumlah
kota, terutama di wilayah Arakan seperti Buthidaung dan Yathedaung, dimana kaum
Muslim merupakan mayoritas. Wilayah yang bersebelahan dengan Bangladesh juga
mayoritas penduduknya adalah
Muslim, tidak seperti wilayah Burma lainnya. Juga di daerah Arakan terdapat
penduduk Muslim pedesaan dengan jumlah yang besar.[15]
g.
Muangthai
Dari jumlah
penduduknya, Islam
adalah agama kedua yang cukup penting di Muangthai. Menurut gambaran resmi,
masyarakat Muslim merupakan 4% dari seluruh penduduk Muangthai yang kini
mencapai 50 juta jiwa. Ada juga yang menunjukkan presentasi yang lebih besar.
Yang perlu dicatat adalah bahwa kaum Muslim merupakaan kelompok minoritas dalam
kerajaan. Meskipun jumlah kaum Muslim yang sangat besar terkonsentrasi di empat
propinsi bagian Selatan, yaitu Satun, Narathiwat, Pattani, dan Yala, di mana
mereka merupakan kelompok mayoritas, mereka juga tersebar di seluruh kerajaan
diseluruh kerajaaan di sekitar tiga puluh propinsi lainnya. Di Muangthai terdapat 2000 buah masjid yang terdaftar, dan
jumlah masjid di ibukota Bangkok
adalah dua kali lipat dari jumlah seluruh masjid di Singapura.
Masyarakat Muslim di
Muangthai sebagian besar berlatar belakang pedesaan. Kebanyaan dari mereka
bekerja sebagai petani. Di daerah selatan, mereka kebanyakan bekerja sebagai
nelayan. Di Bangkok dan pusat perkotaan lainnya, sebagian besar kaum Muslim
bekerja sebagai pedagang, buruh, tukang, dan pegawai negeri.
Di bidang politik, persoalan
masyarakat Muslim Melayu yang ingin memisahkan diri sangat meresahkan Kerajaan.
Gerakan pemberontakan kaum separatis Melayu Muslim melahirkan sejumlah
organisasi seperti Pattani United
Liberration Organitation (PULO), Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP),
Barisan Revolusi Nasional, serta sedikit kelompok sempalan lainnya
meskipun tidak efektif.
Dengan
bangkitnya demokrasi di Muangthai tahun 1979, partisipasi masyarakat Muslim-Melayu dalam sistem politik, sebagai
warga negara Muangthai dan bukan hanya sebagai Muslim –Melayu atau Muslim,
telah mulai tumbuh.
Masyarakat diberi
kebebasan dalam menjalankan ibadah. Pemerintah menyediakan dana untuk membantu
mereka dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan.
Kaum Muslim juga diperbolehkan melaksanakan dakwah membentuk organisasi dan
mengelola penerbitan literatur keagamaan, yang sekarang sedang tumbuh. Meskipun
demikian kaum Muslim tidak bebas dari perpecahan.[16]
h.
Vietnam
Berkembangnya
Islam di Vietnam, khusunya pada tahap awal, tidak bisa dilepaskan dari
kehadiran kerajaan dan etnis Campa, uraian tentang Islam di Vietnam diawali
dengan uraian sejarah Kerajaan Campa Kuno dan Etnis Campa.
Saat ini,
masyarakat muslim Vietnam biasanya dibedakan menjadi dua kategori. Pertama,
masyarakat muslim pendatang yang berkembang di kota-kota besar, seperti HO Chi
Minh. Kedua, masyarakat muslim Cam, yang merupakan penduduk lokal dan komunitas
muslim tertua yang menempati dataran pesisir Vietnam Tengah. Jumlah masyarakat
muslim Vietnam mencapai sekitar 1% dari seluruh populasi Vietnam, yakni sekitar
420.000 jiwa.
Setelah
Vietnam memasuki era baru dan politik terbuka, umat Islam juga ikut menikmati
perubahan politik tersebut: baik secara internal dalam bentuk semakin
terbukanya kegiatan keagamaan dan semakin pulihnya posisi sosial umat Islam.
Dengan dibangunnya pusat pengkajian umat Islam dan pendidikan Islam di kota Ho
Chi Minh dan dibukanya berbagai kantor perwakilan negara yang mayoritas
penduduknya muslim, suasana di kota tersebut tidak lagi mencerminkan suasana
“anti Tuhan”.[17]
i.
Laos
Kebanyakan
masyarakat muslim di Laos terdiri dari para pedagang keturunan Arab. Ketika
krisis politik di Kamboja berkecamuk, banyak pengungsi muslim Campa yang
menyebrang ke Laos dan menetap disana. Para muslim Huihui (China Muslim) juga
banyak terdapat di Laos. Diperkirakan jumlah masyarakat muslim di Laos mencapai
40.000 jiwa.[18]
j.
Kamboja
Masuk dan
berkembangnya Islam di Kamboja tidak dapat dipisahkan dengan datangnya orang
Campa di negeri ini. Hal ini karena orang Campa telah memeluk agama Islam di
negeri asalnya di Vietnam Tengah, sebelum kemudian menyebarkannya di Kamboja. Setelah
Kamboja kejatuhan rezim Pol Pot dan kemudian diperintah oleh Hun Sen dan
Raja Sihanouk, masyarakat Melayu-Campa
atau Khmer Islam kembali merasakan sedikit kemerdekaan beragama. Masjid sudah
mulai difungsikan kembali dan demikian juga
madrasah-madrasah.
k.
Timur Leste
Terdapat dua
komunitas umat Islam Timor Leste, yaitu kelompok pendatang dari Arab (Yaman dan
Hadramaut) yang datang lebih awal dan pendatang dari kepulauan Hindia Belanda
(Indonesia). Pada 1933, umat Islam Dili telah memiliki wadah sepak bola dengan
nama Al-Hilal. Pada tahun yang sama, Umar bin Awad Al-Katiri Al-Wahdatul
Islamiyah. Pada 1947, Al-Wahdatul Islamiyah disempurnakan menjadi Persatuan
Islam Dili (PID), yang dipimpin oleh Habib Abdurrohman bin Ali Al-Habsyi.
Kemajuan dan
perkembangan Islam di Asia Tenggara ditunjukkan dengan tersebarnya Islam di seluruh kawasan Asia
Tenggara. Hampir disetiap negara di kawasan Asia Tenggara terdapat umat muslim,
terutama di Indonesia.
C.
Modernisasi Islam di Asia Tenggara
Penyebaran dan pengaruh
pembaharuan Islam modern di Asia
Tenggara sejak awal abad ke-20 dipelopori oleh gagasan
pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh menjadi lebih tersebar
luas di seluruh Dunia Islam, tatkala seorang murid Muhammad Abduh yang bernama
Muhammad Rasyid Ridha (1865–1935) menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir.
Majalah Al-Manar inilah yang secara kongkrit menjabarkan ide-ide
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta berpengaruh langsung kepada
gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.
Tidak diragukan lagi bahwa
media cetak merupakan perangkat yang instrumental dalam penyebaran ide-ide kaum
pembaru atau moderrnis di Asia Tenggara, terutama di Dunia Melayu-Indonesia.
Dalam konteks ini, kita bisa dengan tepat menempatkan jurnal Al-Manar yang
secara signifikan memengaruhi wacana pembaruan Islam. Jurnal ini tidak hanya
memengaruhi secara langsung penyebaran pembaruan Islam lewat artikel-artikelnya,
tetapi yang tak kurang pentingnya juga merangsang penerbitan jurnal dengan
semangat yang sama di Asia Tenggara, terutama di kawasan Melayu-Indonesia.
Tulisan ini merupakan usaha awal untuk menggambarkan dan mendiskusikan
penyebaran pembaruan Islam ke Asia Tenggara, terutama di kawasan
Melayu-Indonesia melalui perangkat jurnal yang diterbitkan di wilayah ini
terutama Al-Imam di Singapura dan Al-Munir di Padang, Sumatra Barat, serta
jurnal-jurnal lain.[19]
Ada sedikit catatan singkat
untuk Al-Manar. Telah umum diketahui bahwa tulang punggung Al-Manar adalah
tokoh pembaharu, Muhammad Rasyid Ridho. Karena dipengaruhi secara kuat oleh
Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh (guru pertamanya), yang ikut serta
menerbitkan jurnal terkemuka, Al-‘Urwah Al-Wutsqa’, Muhammad Rasyid Ridha
menerbitkan majalahnya sendiri, Al-Manar (tempat cahaya), yang terbit pertama
kali pada 1898 di Kairo.dalam bentuk
majalah mingguan dan berikutnya majalah bulanan sampai berhenti terbit pada
1935. Tujuan penerbitan Al-Manar adalah mengartikulasikan dan menyebarkan
ide-ide pembaruan serta menjaga keutuhan umat Islam.[20]
IV.
KESIMPULAN
Sejarah islam di Asia
Tenggara, khususnya pada masa awal, luar biasa galau dan rumit. Kegalauan dan
kerumitan itu bukan hanya disebabkan oleh kompleksitas di sekitar sosok islam
itu sendiri sebagaimana direfleksikan oleh kaum muslimin di kawasan ini, baik
melalui historiografi dan pengkajian-pengkajian sejarah Islam dengan berbagai
aspeknya di Asia Tenggara yang dilakukan kalangan sejahrawan asing maupun
pribumi. Mereka pun hingga kini belum mampu merumuskan suatu paradigma historis
yang dapat dijadikan pegangan bersama. Terdapat perbedaan-perbedaan dasar di
kalangan para ahli dalam mengkaji Islam di Asia Tenggara, yang kadang-kadang
sulit dipertemukan satu sama lain.
Mengenai tempat asal datangnya
Islam ke Asia Tenggara, sedikitnya ada tiga teori besar:
1. Teori yang menyatakan
bahwa Islam datang langsung dari arab, atau tepatnya Hadramaut.
2. Teori yang mengatakan bahwa Islam datang dari India,
pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872.
3. Teori Fatimi, menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali
(kini Bangladesh).
Sejak kerajaan
Samudera Pasai tumbuh dan berkembang, yang umumnya diterima para ahli sejarah
sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara yaitu sejak abad ke-13 sampai
akhir abad ke-16, pelayaran dan perdagangan antara Muslim dari Arab, Persia,
Irak, India Selatan, dan Srilanka semakin ramai. Mereka bukan hanya mendatangi
ibukota kerajaan Samudera Pasai, tetapi juga meneruskan pelayaran dan
perdagangannya ke negeri-negeri lain di kawasan Asia Tenggara. Dari sinilah
Islam di Asia Tenggara memperlihatkan kemajuan dan perkembangannya.
Penyebaran dan pengaruh
pembaharuan Islam modern di Asia
Tenggara sejak awal abad ke-20 dipelopori oleh gagasan
pembaharuan Jamaluddin dan Muhammad Abduh menjadi lebih tersebar luas di
seluruh Dunia Islam, tatkala seorang murid Muhammad Abduh yang bernama Muhammad
Rasyid Ridha (1865–1935) menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir. Majalah Al-Manar
inilah yang secara kongkrit menjabarkan ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan
Muhammad Abduh, serta berpengaruh langsung kepada gerakan modernisme Islam di
Asia Tenggara pada awal abad ke-20.
V.
PENUTUP
Syukur Alhamdulillah pemakalah
haturkan kepada Allah SWT dengan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya sehingga
pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfa’at
bagi kita semua. Amin.
[3]Azyumardi
Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, hlm. 27
[6]Azyumardi
Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, hlm. 32
[7] Saifullah, Sejarah
dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Hlm.11-12
[8] Azyumardi
Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: yayasan obor
Indonesia, 1989) Hlm. 13
[9] Azyumardi
Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, hlm. 33
[13]Saiful Muzani , Pembangunan
dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, hlm.44-46
[14]Saiful Muzani , Pembangunan
dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, hlm.48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar