Senin, 09 Juni 2014

makalah peradaban Islam di Asia Tenggara

PERADABAN ISLAM DI ASIA TENGGARA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Semester Genap
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: M. Rikza Chamami, M.Si





Disusun oleh:

1.      Dewi Aminatul Zahro’                  (133111160)
2.      U’thiya Ni’matur Robiah              (133111162)
3.      Khoirrosyid Oktifu’adi                 (133111163)



FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014


          I.            PENDAHULUAN
Umat Islam merupakan penduduk mayoritas Asia Tenggara, menurut para ahli, islamisasi di kawasan ini berlangsung secara damai dan melalui proses panjang yang masih terus berlangsung sampai sekarang. Tidak banyak terjadi penaklukan secara militer, pergolakan politik, atau pemaksaan struktur kekuasaan dan norma-norma masyarakat dari luar negeri. Karena itu, tidaklah mudah untuk menjawab pertanyaan “bilamana”, “mengapa”, “darimana” dan “dalam bentuk apa” Islam mulai menimbulkan dampak pada masyarakat-masyarakat Asia Tenggara untuk pertama kalinya. Sesungguhnya, kini kita mulai menyadari bahwa proses Islamisasi ini mungkin tidak mempunyai awal yang pasti, juga tidak berakhir. Islamisasi kawasan ini lebih merupakan suatu proses sinambung yang selain mempengaruhi masa kini, juga masa depan kita.
Selanjutnya kita dapat memperluas kompleksitas agama di kawasan ini melalui pengamatan bahwa Islam bukanlah agama besar pertama yang tumbuh subur di lahan subur Asia Tenggara. Sejarah agama di kawasan ini sendiri kompleks. Pertama Hindu, kemudian Budha, Islam dan belakangan Kristen, menawarkan model-model yang telah membentuk matriks budaya-agama pribumi selama ribuan tahun.[1]
Dalam perspektif historis, studi atau kajian Islam di Asia Tenggara mengandung kompleksitas tersendiri. Harus diakui secara historis, studi-studi tentang Islam di Asia Tenggara sampai waktu-waktu belakangan lebih banyak dilakukan kalangan asing daripada sarjana pribumi. Bahkan, terdapat kesan kuat bahwa studi-studi yang meletakkan paradigma teoritis tentang Islam di Asia Tenggara hampir semua ditulis sarjana luar, walaupun pandangan mereka belum tentu sepenuhnya akurat.[2]

       II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana Sejarah Islam di Asia Tenggara ?
B.     Bagaimana Kemajuan Agama Islam di Asia Tenggara ?
C.     Bagaimana Modernisasi Islam di Asia Tenggara ?
    III.            PEMBAHASAN
A.           Sejarah Islam di Asia Tenggara
Sejarah Islam di Asia Tenggara, khususnya pada masa awal, luar biasa galau dan rumit. Kegalauan dan kerumitan itu bukan hanya disebabkan oleh kompleksitas di sekitar sosok islam itu sendiri sebagaimana direfleksikan oleh kaum muslimin di kawasan ini, baik melalui historiografi dan pengkajian-pengkajian sejarah Islam dengan berbagai aspeknya di Asia Tenggara yang dilakukan kalangan sejarawan asing maupun pribumi. Mereka pun hingga kini belum mampu merumuskan suatu paradigma historis yang dapat dijadikan pegangan bersama. Terdapat perbedaan-perbedaan dasar di kalangan para ahli dalam mengkaji Islam di Asia Tenggara, yang kadang-kadang sulit dipertemukan satu sama lain.
Di kalangan masyarakat pribumi sebenarnya tidak kurang pula terdapat historiografi berupa hikayat, silsilah, babad, cerita, syair dan lain-lain yang mengungkapkan perkembangan awal Islam diberbagai kawasan Asia tenggara. Namun, para ahli seperti John menilai bahwa kebanyakan literatur melayu seperti itu mempunyai nama yang kurang baik, bukan hanya karena selintas tidak menarik, tetapi bahkan gayanya sulit dijelaskan. Menurutnya, kategori-kategori barat semacam roman, balada, dongeng, kronik (risalah) atau sejarah tidak cukup memadai untuk memberikan kerangka yang jelas mengenai karya-karya melayu ini.[3]
                        Para pengembara atau wartawan Barat menulis tentang Asia Tenggara, khususnya bukanlah para ahli. Mereka umumnya membuat catatan-catatan berdasarkan kunjungan singkat dan kebanyakan mengamati dari daerah perkotaan, sehingga mereka sebenarnya tidak banyak tahu tentang keadaan nyata penduduk pedesaan, pola-pola sosial mereka dan lain-lainnya.[4]
                        Mengenai tempat asal datangnya Islam ke Asia Tenggara, sedikitnya ada tiga teori besar:
1.      Teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari arab, atau tepatnya Hadramaut. Teori ini dikemukakan Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861), dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari arab, meskipun ia menyebut adanya hubungan dengan orang-orang “Mohammedan” di India Timur. Keyzer beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir yang bermazhab syafi’i, sama seperti yang dianut kaum muslimin Nusantara umumnya. Teori ini juga dipegang oleh Niemann dan De Hollander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan mesir, sebagai sumber datangnya Islam, sebab muslim Hadramaut adalah pengikut mazhab syafi’i seperti juga kaum muslimin Nusantara. Sedangkan Veth hanya menyebut “orang-orang arab”, tanpa menunjuk asal mereka di Timur Tengah maupun kaitannya dengan Hadramaut, Mesir atau India. Teori semacam ini juga diajukan Hamka dalam seminar “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” pada 1962. Menurutnya Islam ke Indonesia langsung dari Arab bukan melalui India dan bukan pula pada abad ke-11 melainkan pada abad pertama Hijriyah atau 7 M.[5]

2.      Teori yang mengatakan bahwa Islam datang dari India, pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco Polo, dan Ibnu Battuta, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermadzhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara.

3.      Teori Fatimi, menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali (kini Bangladesh). Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya, dari arah pantai timur, bukan dari barat (Malaka) pada abad ke-11 melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Beberapa ahli sejarawan menyatakan bahwa teori Fatimi ini tidak bisa diterima, terutama karena penafsiranya atas prasasti yang ada dinilai merupakan “perkiraan liar belaka”.[6]
          Akhirnya semua teori diatas jelaslah belum final. Meskipun telah banyak sejarahwan yang menulis tentang masalah ini, kesempatan masih tetap terbuka bagi munculya penafsiran-penafsiran baru berdasarkan penelitian atas sumber-sumber sejarah yang ada berdasarkan penelitian dan penulisan lebih lanjut menyangkut sifat penyebaran Islam di kawasan ini.

B.     Kemajuan Islam di Asia Tenggara
 Kedatangan Islam sejak abad 7 sampai abad ke-12 di beberapa daerah Asia Tenggara dapat dikatakan baru pada tahap pembentukan komunikasi Islam yang terutama terdiri dari para pedagang. Abad ke-13 sampai abad ke-16, terutama dengan munculnya kerajaaan bercorak Islam, merupakan kelanjutan dari penyebaran Islam. Perlu dibedakan antara tahap kedatangan, penyebaran, dan pembentukan struktur pemerintahan atau kerajaan. Ketiga tahap tersebut memerlukan waktu dan proses yang panjang, tergantung pada situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi Islam.
Apabila gelombang pertama hanya menghasilkan komunitas Muslim yang terutama terdiri dari pedagang Muslim dan penyebaran Islam yang sangat terbatas, pada gelombang kedua, yang dimulai sejak abad ke-13, penyebaran Islam lebih mantab dan meluas. Hal ini bisa dilihat dengan berdirinya kerajaan Islam. Kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara pada abad ke-13 di pesisir utara Aceh Utara, tepatnya di daerah Lhokseomawe. Sejak kerajaan Samudera Pasai tumbuh dan berkembang, yang umumnya diterima para ahli sejarah sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara yaitu sejak abad ke-13 sampai akhir abad ke-16, pelayaran dan perdagangan antara Muslim dari Arab, Persia, Irak, India Selatan, dan Srilanka semakin ramai. Mereka bukan hanya mendatangi ibukota kerajaan Samudera Pasai, tetapi juga meneruskan pelayaran dan perdagangannya ke negeri-negeri lain di kawasan Asia Tenggara.[7] Dari sinilah Islam di Asia Tenggara memperlihatkan kemajuan dan perkembangannya.
Telah disepakati bahwa Islam pada mulanya mendapatkan kubu-kubu terkuatnya di kota pelabuhan, seperti Samudra Pasai, Malaka, dan kota-kota pelabuhan lainya di pesisir utara Jawa. Berangkat dari teori bahwa Islam pada dasarnya adalah urban (perkotaan) dan bahwa peradaban Islam pada hakekatnya adalah (juga) urban. John menyatakan bahwa proses Islamisasi di Nusantara bermula dari kota-kota pelabuhan yang ada. Di perkotaan itu sendiri, Islam adalah fenomena istana. Istana kerajaan menjadi pusat pengembangan intelektual Islam atas perlindungan resmi penguasa, yang kemudian memunculkan tokoh-tokoh ulama’ intelektual terkenal semacam Hamzah Fansuri, Shams al-Din Pasai, Nur al-Din al-Raniri, dan ‘Abd al-Ra’uf al-Singkili. Tokoh-totkoh ini mempunyai jaringan keilmuan yang luas baik dalam maupun luar  negeri, sehingga menunjang pengembangan Islam dan gagasan mereka sendiri. Jaringan keilmuan semacam ini kemudian semakin diperkuat dan diperkaya terutama sejak abad ke-17 oleh tarekat-tarekat tasawwuf yang berkembang luas di Nusantara. Karakter organis yang inheren dalam jaringan semacam ini memberikan momentum yang terus-menerus bagi pengembangan Islam.[8]
Selain itu, kota sebagai pusat ekonomi mempunyai kemampuan untuk mendukung kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan Islam secara politik, lebih-lebih lagi secara finansial. Relatif baiknya keadaan ekonomi perkotaan memungkinkan terselenggaranya pembangunan masjid dan pusat-pusat pengajaran Islam, kegiatan-kegiatan Islam, dan menimbulkan kemampuan untuk melakukan perjalanan naik haji atau berkeliling dari satu tempat ke tempat lain guna menyampaikan syiar Islam.[9]
a.       Indonesia
Saat ini, dengan perkiraan jumlah penduduknya sekitar 165 juta dengan 90% darinya beragama islam, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Sebagian besar penduduk Indonesia adalah Muslim. Selain Islam, agama-agama Budha, Hindu, Katolik, dan Protestan merupakan agama yang diakui negara.[10] Kemajuan dan perkembangan Islam di Indonesia tidak lepas dari peran kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia dan juga peran perjuangan dakwah para wali songo dalam menyebarkan agama Islam.
Indonesia memang bukan negara agama (teokrasi), dan bukan negara Islam, tetapi juga bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara beragama yang mendukung kehidupan beragama warganya. Hal ini ditegaskan dengan dibentuknya Departemen Agama, Pengadilan Agama, pembinaan masyarakat beragama, waqaf, dan zakat. Selain itu, di Indonesia tumbuh dan berkembang banyak organisasi keagamaan, seperti MUI, ICMI, Muhammadiyah, NU dan lain-lain. Di Indonesia juga telah tumbuh sejak lama dan berkembang pendidikan agama Islam dari tingkat rendah sampai Perguruan Tinggi, dari pondok pesantren tradisional sampai yang modern.
Sebagai kesimpulan, kita dapat melihat betapa ajaran Islam telah meresap ke dalam lubuk hati sebagian besar bangsa Indonesia, telah berakulturasi sedemikian rupa, dan telah mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakatnya.[11]
           
b.      Federasi Malaysia
Di  Malaysia penduduk Muslim tidak lebih dari 55% dari seluruh jumlah penduduk. Meskipun tidak semua orang Muslim adalah Melayu, secara konstitusional, orang Melayu mesti Muslim.
Peranan Islam dalam politik lebih kentara di Malaysia terutama di tahun 1980-an ini sekarang merupakan faktor krusial baik di tingkat nasional maupun tingkat lokal. Partai Islam (PAS) menyatakan dalam kampanyenya untuk membentuk negara Islam. Partai ini mendapat dukungan masyarakat yang cukup besar di negara-negara yang didominasi oleh Muslim seperti Kelantan, Trengganu, Kedah, dan Perlis. United Malay National Organization (UMNO) yang memimpin Front Nasional menikmati politik graduasi dan memasukkan secara selektif nilai-nilai Islam ke dalam kebijakan pemerintah dan menunjang tinggi konstitusi Malaysia sebagai keramat.
Kebijakan Front Nasional mengenai Islam muncul sebagian karena keinginan untuk menyesuaikan dengan tumbuhnya harapan dari masyarakat Muslim. Fenomena kebangkitan Islam di Malaysia terutama di tahun 1980-an, telah merasuk. Kini dimana-mana terdapat tanda-tanda konformitas yang cukup besar terhadap tata cara hidup Islam di Malaysia. Juga ada kegairahan yang meningkat akan kajian-kajian Islam di kalangan kaum Muslim.[12]
c.       Republik Singapura
Singapura adalah negara dengan jumlah penduduk 2,5 juta jiwa yang multirasial, multilingual, dan juga multi agama. Cina merupakan 77 persen dari seluruh penduduk. Kaum melayu merupakan minoritas, sekitar 15 persen, sementara India hanya 6 persen, dan lainnya hanya 2 persen. Seluruh penduduk Muslim berjumlah 320.000 jiwa, 16% dari seluruh jumlah penduduk. Jumlah Muslim Cina di Singapura sangat sedikit. Orang-orang Pakistan, India, dan Arab merupakan penduduk Muslim lainnnya yang ada di Singapura.
Di Singapura terdapat sebuah lembaga bernama MUIS. Yaitu lembaga Majlis Ugama Islam Singapura yang didirikan dibawah ketentuan Administratif of Muslim Law Act of 1966. MUIS diberi tanggungjawab untuk mengatur administrasi hukum Islam di Singapura, seperti mengumpulkan zakat maal dan zakat fitrah, pengaturan perjalanan haji, organisasi sekolah-sekolah agama, serta pemberian beasiswa bagi pelajar Muslim. MUIS juga berwenang untuk mengeluarkan fatwa. Pengelolaan delapan puluh masjid di seluruh Singapura juga diserahkan kepada MUIS. Sejak tahun 1975, lewat Dana Pembangunan Masjid, MUIS telah membantu memfungsikan masjid sebagai tempat untuk dakwah dan kegiatan masyarakat Muslim lainnya.
Ada pula lembaga yang didirikan oleh pemerintah untuk mengangkat status sosio-ekonomi masyarakat Melayu. Pemerintah menunjukkkan bahwa menciptakan “warga Muslim Singapura lebih baik di bidang pendidikan sehingga mampu memberikan sumbangan bagi pembangunan Singapura” merupakan kepentingan bersama.[13]
d.      Republik Filipina
Filipina adalah Negara kepulauan dengan 7107 buah pulau. Penduduknya yang berjumlah 47 juta jiwa menggunakan 87 dialeg bahasa yang berbeda-beda, yang mencerminkan banyaknya suku dan komunitas etnis. Islam telah mempunyai sejarah yang panjang di Filipina, sejak zaman prakolonial, dan masyarakat Muslim dibagian Selatan tercatat sebagai masyarakat yang mampu mempertahankan diri dari penetrasi Spanyol selama 300 tahun.
 Orang-orang Islam di Filipina menamakan diri  mereka Moro. Namun nama itu sebetulnya lebih bersifat politis, karena dalam kenyataannya Moro terdiri dari banyak kelompok etnolinguistik, umpamanya Maranao, Manguindanao, Tausug, Samal, Sangil.
Kaum Muslim di Filipina yang mendapat pendidikan sekular cenderung mudah menyatu dengan negara Filipina. Sebaliknya mereka yang tidak mau menerima pendidikan sekular dan hanya mendapatkan pendidikan agama secara tradisional, biasanya tidak menghendaki integrasi dengan Filipina. [14]  
e.       Negara Brunei Darussalam
Situasi politik di Negara Brunei Darussalam tampaknya sangat tenang, hal ini mungkin karena ukuran negara ini yang kecil. Brunei berpenduduk hanya 200.000 jiwa dengan Kaum Muslim sebagai mayoritas. Hampir seluruh penduduk Brunei adalah Melayu, meskipun ada sejumlah kecil kaum Cina pendatang. Sebagai agama resmi, Islam mendapat lindungan dari negara. Dominasi keluarga kerajaan di bidang pemerintahan dan tidak adanya demokrasi politik memungkinkan pemerintah memeberlakukan kebijaksanaan di bidang agama dan kebijaksanaan umum lainya tanpa kesulitan.
f.       Myanmar
Dari segi ukuran, sesuai dengan sensus penduduk tahun 1983, kaum Muslim merupakan 3,9% dari seluruh penduduk Burma yang berjumlah 35,3 juta jiwa. Secara geografis masyarakat Muslim terbesar di seluruh Burma dan merupakan masyarakat urban. Mereka bisa dijumpai disebagian besar kota-kota di Burma. Kota terbesar seperti Mandalay dan Rangoon sangat diwarnai oleh masyarakat Muslim. Terdapat pula sejumlah kota, terutama di wilayah Arakan seperti Buthidaung dan Yathedaung, dimana kaum Muslim merupakan mayoritas. Wilayah yang bersebelahan dengan Bangladesh juga mayoritas penduduknya adalah Muslim, tidak seperti wilayah Burma lainnya. Juga di daerah Arakan terdapat penduduk Muslim pedesaan dengan jumlah yang besar.[15]  
g.      Muangthai
Dari jumlah penduduknya, Islam adalah agama kedua yang cukup penting di Muangthai. Menurut gambaran resmi, masyarakat Muslim merupakan 4% dari seluruh penduduk Muangthai yang kini mencapai 50 juta jiwa. Ada juga yang menunjukkan presentasi yang lebih besar. Yang perlu dicatat adalah bahwa kaum Muslim merupakaan kelompok minoritas dalam kerajaan. Meskipun jumlah kaum Muslim yang sangat besar terkonsentrasi di empat propinsi bagian Selatan, yaitu Satun, Narathiwat, Pattani, dan Yala, di mana mereka merupakan kelompok mayoritas, mereka juga tersebar di seluruh kerajaan diseluruh kerajaaan di sekitar tiga puluh propinsi lainnya. Di Muangthai  terdapat 2000 buah masjid yang terdaftar, dan jumlah masjid di ibukota Bangkok adalah dua kali lipat dari jumlah seluruh masjid di Singapura.
Masyarakat Muslim di Muangthai sebagian besar berlatar belakang pedesaan. Kebanyaan dari mereka bekerja sebagai petani. Di daerah selatan, mereka kebanyakan bekerja sebagai nelayan. Di Bangkok dan pusat perkotaan lainnya, sebagian besar kaum Muslim bekerja sebagai pedagang, buruh, tukang, dan pegawai negeri.
Di bidang politik, persoalan masyarakat Muslim Melayu yang ingin memisahkan diri sangat meresahkan Kerajaan. Gerakan pemberontakan kaum separatis Melayu Muslim melahirkan sejumlah organisasi seperti  Pattani United Liberration Organitation (PULO),  Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP), Barisan Revolusi Nasional, serta sedikit kelompok sempalan lainnya meskipun tidak efektif.
Dengan bangkitnya demokrasi di Muangthai tahun 1979, partisipasi masyarakat  Muslim-Melayu dalam sistem politik, sebagai warga negara Muangthai dan bukan hanya sebagai Muslim –Melayu atau Muslim, telah mulai tumbuh.
Masyarakat diberi kebebasan dalam menjalankan ibadah. Pemerintah menyediakan dana untuk membantu mereka dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Kaum Muslim juga diperbolehkan melaksanakan dakwah membentuk organisasi dan mengelola penerbitan literatur keagamaan, yang sekarang sedang tumbuh. Meskipun demikian kaum Muslim tidak bebas dari perpecahan.[16]
h.      Vietnam
Berkembangnya Islam di Vietnam, khusunya pada tahap awal, tidak bisa dilepaskan dari kehadiran kerajaan dan etnis Campa, uraian tentang Islam di Vietnam diawali dengan uraian sejarah Kerajaan Campa Kuno dan Etnis Campa.
Saat ini, masyarakat muslim Vietnam biasanya dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, masyarakat muslim pendatang yang berkembang di kota-kota besar, seperti HO Chi Minh. Kedua, masyarakat muslim Cam, yang merupakan penduduk lokal dan komunitas muslim tertua yang menempati dataran pesisir Vietnam Tengah. Jumlah masyarakat muslim Vietnam mencapai sekitar 1% dari seluruh populasi Vietnam, yakni sekitar 420.000 jiwa.
Setelah Vietnam memasuki era baru dan politik terbuka, umat Islam juga ikut menikmati perubahan politik tersebut: baik secara internal dalam bentuk semakin terbukanya kegiatan keagamaan dan semakin pulihnya posisi sosial umat Islam. Dengan dibangunnya pusat pengkajian umat Islam dan pendidikan Islam di kota Ho Chi Minh dan dibukanya berbagai kantor perwakilan negara yang mayoritas penduduknya muslim, suasana di kota tersebut tidak lagi mencerminkan suasana “anti Tuhan”.[17] 
i.        Laos
Kebanyakan masyarakat muslim di Laos terdiri dari para pedagang keturunan Arab. Ketika krisis politik di Kamboja berkecamuk, banyak pengungsi muslim Campa yang menyebrang ke Laos dan menetap disana. Para muslim Huihui (China Muslim) juga banyak terdapat di Laos. Diperkirakan jumlah masyarakat muslim di Laos mencapai 40.000 jiwa.[18]
j.        Kamboja
Masuk dan berkembangnya Islam di Kamboja tidak dapat dipisahkan dengan datangnya orang Campa di negeri ini. Hal ini karena orang Campa telah memeluk agama Islam di negeri asalnya di Vietnam Tengah, sebelum kemudian menyebarkannya di Kamboja. Setelah Kamboja kejatuhan rezim Pol Pot dan kemudian diperintah oleh Hun Sen dan Raja  Sihanouk, masyarakat Melayu-Campa atau Khmer Islam kembali merasakan sedikit kemerdekaan beragama. Masjid sudah mulai difungsikan  kembali dan demikian juga madrasah-madrasah. 
k.      Timur Leste
Terdapat dua komunitas umat Islam Timor Leste, yaitu kelompok pendatang dari Arab (Yaman dan Hadramaut) yang datang lebih awal dan pendatang dari kepulauan Hindia Belanda (Indonesia). Pada 1933, umat Islam Dili telah memiliki wadah sepak bola dengan nama Al-Hilal. Pada tahun yang sama, Umar bin Awad Al-Katiri Al-Wahdatul Islamiyah. Pada 1947, Al-Wahdatul Islamiyah disempurnakan menjadi Persatuan Islam Dili (PID), yang dipimpin oleh Habib Abdurrohman bin Ali Al-Habsyi.
Kemajuan dan perkembangan Islam di Asia Tenggara ditunjukkan dengan  tersebarnya Islam di seluruh kawasan Asia Tenggara. Hampir disetiap negara di kawasan Asia Tenggara terdapat umat muslim, terutama di Indonesia.

C.     Modernisasi Islam di Asia Tenggara
Penyebaran dan pengaruh pembaharuan Islam  modern di Asia Tenggara sejak awal abad ke-20 dipelopori oleh gagasan pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh menjadi lebih tersebar luas di seluruh Dunia Islam, tatkala seorang murid Muhammad Abduh yang bernama Muhammad Rasyid Ridha (1865–1935) menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir. Majalah Al-Manar inilah yang secara kongkrit menjabarkan ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta berpengaruh langsung kepada gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.
Tidak diragukan lagi bahwa media cetak merupakan perangkat yang instrumental dalam penyebaran ide-ide kaum pembaru atau moderrnis di Asia Tenggara, terutama di Dunia Melayu-Indonesia. Dalam konteks ini, kita bisa dengan tepat menempatkan jurnal Al-Manar yang secara signifikan memengaruhi wacana pembaruan Islam. Jurnal ini tidak hanya memengaruhi secara langsung penyebaran pembaruan Islam lewat artikel-artikelnya, tetapi yang tak kurang pentingnya juga merangsang penerbitan jurnal dengan semangat yang sama di Asia Tenggara, terutama di kawasan Melayu-Indonesia. Tulisan ini merupakan usaha awal untuk menggambarkan dan mendiskusikan penyebaran pembaruan Islam ke Asia Tenggara, terutama di kawasan Melayu-Indonesia melalui perangkat jurnal yang diterbitkan di wilayah ini terutama Al-Imam di Singapura dan Al-Munir di Padang, Sumatra Barat, serta jurnal-jurnal lain.[19]
Ada sedikit catatan singkat untuk Al-Manar. Telah umum diketahui bahwa tulang punggung Al-Manar adalah tokoh pembaharu, Muhammad Rasyid Ridho. Karena dipengaruhi secara kuat oleh Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh (guru pertamanya), yang ikut serta menerbitkan jurnal terkemuka, Al-‘Urwah Al-Wutsqa’, Muhammad Rasyid Ridha menerbitkan majalahnya sendiri, Al-Manar (tempat cahaya), yang terbit pertama kali pada 1898  di Kairo.dalam bentuk majalah mingguan dan berikutnya majalah bulanan sampai berhenti terbit pada 1935. Tujuan penerbitan Al-Manar adalah mengartikulasikan dan menyebarkan ide-ide pembaruan serta menjaga keutuhan umat Islam.[20]


    IV.            KESIMPULAN
Sejarah islam di Asia Tenggara, khususnya pada masa awal, luar biasa galau dan rumit. Kegalauan dan kerumitan itu bukan hanya disebabkan oleh kompleksitas di sekitar sosok islam itu sendiri sebagaimana direfleksikan oleh kaum muslimin di kawasan ini, baik melalui historiografi dan pengkajian-pengkajian sejarah Islam dengan berbagai aspeknya di Asia Tenggara yang dilakukan kalangan sejahrawan asing maupun pribumi. Mereka pun hingga kini belum mampu merumuskan suatu paradigma historis yang dapat dijadikan pegangan bersama. Terdapat perbedaan-perbedaan dasar di kalangan para ahli dalam mengkaji Islam di Asia Tenggara, yang kadang-kadang sulit dipertemukan satu sama lain.
Mengenai tempat asal datangnya Islam ke Asia Tenggara, sedikitnya ada tiga teori besar:
1.      Teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari arab, atau tepatnya Hadramaut.
2.      Teori yang mengatakan bahwa Islam datang dari India, pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872.
3.      Teori Fatimi, menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali (kini Bangladesh).
Sejak kerajaan Samudera Pasai tumbuh dan berkembang, yang umumnya diterima para ahli sejarah sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara yaitu sejak abad ke-13 sampai akhir abad ke-16, pelayaran dan perdagangan antara Muslim dari Arab, Persia, Irak, India Selatan, dan Srilanka semakin ramai. Mereka bukan hanya mendatangi ibukota kerajaan Samudera Pasai, tetapi juga meneruskan pelayaran dan perdagangannya ke negeri-negeri lain di kawasan Asia Tenggara. Dari sinilah Islam di Asia Tenggara memperlihatkan kemajuan dan perkembangannya.
Penyebaran dan pengaruh pembaharuan Islam  modern di Asia Tenggara sejak awal abad ke-20 dipelopori oleh gagasan pembaharuan Jamaluddin dan Muhammad Abduh menjadi lebih tersebar luas di seluruh Dunia Islam, tatkala seorang murid Muhammad Abduh yang bernama Muhammad Rasyid Ridha (1865–1935) menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir. Majalah Al-Manar inilah yang secara kongkrit menjabarkan ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta berpengaruh langsung kepada gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.


       V.            PENUTUP
Syukur Alhamdulillah pemakalah haturkan kepada Allah SWT dengan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfa’at bagi kita semua. Amin.














[1] Ahmad Ibrahim, Islam di Asia Tenggara perspektif sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1989), Hlm. 1
[2] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), Hlm. 3
[3]Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, hlm. 27
[4] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara,hlm. 28
[5] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, hlm.31
[6]Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, hlm. 32
[7] Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),  Hlm.11-12
[8] Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: yayasan obor Indonesia, 1989) Hlm. 13
[9] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, hlm. 33
[10] Saiful Muzani , Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, hlm.40-41
[11] Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Hlm. 38
[12] Saiful Muzani , Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, hlm.43-44
[13]Saiful Muzani , Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, hlm.44-46
[14]Saiful Muzani , Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, hlm.48
[15] Saiful Muzani , Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, hlm.49-50
[16] Saiful Muzani , Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, hlm. 50-52
[17] Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Hlm.209
[18] Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Hlm. 218
[19] Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, (Bandung: Mizan, 2002), Hlm. 183
[20] Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Hlm. 184

Tidak ada komentar:

Posting Komentar