MAQASHID AS-SYARI’AH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Semester
Genap
Mata
Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Ridwan, M.Ag
Disusun oleh:
1.
Dewi Aminatul Zahro (133111160)
2.
U’thiya Ni’matur
Robiah (133111162)
3.
Khoirrosyid Oktifu’adi
(133111163)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
SAW adalah sebagai sumber utama hukum Islam yang bersifat wajib, atau mutlaq di
percayai dan di anut oleh seorang muslim, selain menunjukkan hukum dengan bunyi
bahasanya juga dengan ruh tasyri’ atau Maqasid Syari’ah.
Melalui Maqasid Syari’ah
inilah ayat-ayat dan hadits-hadits hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas
jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan–permasalahan yang
secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh al-Quran dan Sunnah. Pengembangan ini dengan menggunakan metode istinbat seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah,
dan ‘urf yang juga disebut sebagai dalil.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa pengertian dari Maqashid as-Syari’ah?
B. Apa manfaat mempelajari dan tujuan umum Maqashid
as-Syari’ah?
C. Bagaimana urutan Maqashid as-Syari’ah?
D. Apa peranan Maqashid as-Syari’ah
dalam pengembangan hukum?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Maqashid
as-Syari’ah
Secara bahasa (etimologi), maqashid as-syari’ah
terdiri dari dua kata yaitu maqahsid dan as-syari’ah. Maqashid
(مقاصد ( berarti bentuk jama’ dari maqshud (
مقصود ) yang barasal dari suku kata qashada ( قصد ) yang
artinya kesengajaan atau tujuan. Syari’ah artinya jalan menuju sumber
air yang dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.
Sedangkan menurut istilah (terminologi) maqashid as-syari’ah adalah
kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyari’atan hukum.[1]
Maqashid as-syari’ah berarti tujuan
Allah dan
Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Allah. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam
ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan
suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
B. Manfaat mempelajari dan tujuan umum Maqashid as-Syari’ah
Adapun manfaat mempelajari maqashid as-syari’ah adalah
sebagai berikut:
a. Mengungkapkan tujuan, alasan, dan hikmah tasyri’
b. Menegaskan karakteristik Islam yang sesuai dengan tiap
zaman
c. Membantu ulama’ berijtihad dalam bingkai tujuan syariat
Islam
d. Mempersempit perselisihan dan ta’shub di antara pengikut
mazhab fiqh
Syari’( شارع ) dalam
menciptakan syari’at (undang-undang) bukanlah sembarangan, tanpa arah,
melainkan bertujuan untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan
dan menghindarkan ke-mafsadah-an bagi umat manusia.
Mengetahui tujuan umum diciptakan perundang-undangan itu
sangat penting agar dapat menarik hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya
secara tepat dan benar dan selanjutnya dapat menetapkan hukum
peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya.[2]
Tujuan maqashid as-Syari’ah adalah untuk kemaslahatan manusia.
Kemaslahatan dapat terealisasikan dengan baik jika lima unsur pokok dapat
diwujudkan dan dipelihara, yaitu:
a. Agama
b. Jiwa
c. akal
d. keturunan
e. harta [3]
Tujuan syari’ (شارع )
dalam mensyari’atkan ketentuan-ketentuan hukum kepada orang-orang mukallaf adalah
dalam upaya mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi kehidupan mereka, baik melalui
ketentuan-ketentuan yang dharury, hajiy, dan tahsiniy.
Abu Ishaq al-Syatibi berpandangan bahwa tujuan utama dari
syariah adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum, yaitu: dharury,
hajiy, dan tahsiniy. Tujuan dari tiga kategori tersebut ialah untuk
memastikan kaum muslimin baik di dunia maupun di akhirat terwujud dengan cara
yang terbaik karena Tuhan berbuat demi kebaikan hamba-Nya.[4]
a. Kebutuhan Dharuriyat
Kebutuhan dharuriyat ialah tingkat
kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat
kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di
dunia maupun di akhirat kelak. Dharuriyat dilakukan dalam dua pengertian
yaitu, pada satu sisi kebutuhan itu harus diwujudkan dan diperjuangkan,
sementara di sisi lain segala hal yang dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan
tersebut harus disingkirkan.
Misalnya, firman Allah dalam mewajibkan jihad:
öNèdqè=ÏG»s%ur
4Ó®Lym
w
tbqä3s?
×poY÷FÏù
tbqä3tur
ßûïÏe$!$#
¬!
(
ÈbÎ*sù
(#öqpktJR$#
xsù
tbºurôãã
wÎ)
n?tã
tûüÏHÍ>»©à9$#
ÇÊÒÌÈ
”Dan perangilah
mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan sehingga ketaatan itu hanya
semata-mata untuk Allah”. (QS.Al-Baqarah: 193).
Dan firman-Nya
dalam mewajibkan qishash:
öNä3s9ur
Îû
ÄÉ$|ÁÉ)ø9$#
×o4quym
Í<'ré'¯»t
É=»t6ø9F{$#
öNà6¯=yès9
tbqà)Gs?
ÇÊÐÒÈ
“Dan dalam qishash
itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertaqwa.” (QS.Al-Baqarah/2:179)
Dari ayat pertama dapat diketahui tujuan
disyariatkan perang adalah untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi
gangguan dan mengajak umat manusia untuk menyembah Allah. Dan dari ayat kedua
diketahui bahwa mengapa disyariatkan qishash karena dengan itu ancaman
terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.
b.
Kebutuhan Hajiyat
Kebutuhan hajiyat ialah
kebutuhan-kebutuhan sekunder, dimana bilamana tidak terwujudkan tidak sampai
mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam
menghilangkan segala kesulitan itu. Adanya hukum rukhshah (keringanan)
seperti dijelaskan Adb al-Wahhab Khallaf, adalah sebagai contoh dari kepedulian
Syariat Islam terhadap kebutuhan ini.
Dalam lapangan ibadat, Islam mensyariatkan
beberapa hukum rukhshah (keringanan) bilamana kenyataannya mendapat
kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif. Misalnya, Islam memperbolehkan
tidak berpuasa bilamana dalam perjalanan dalam jarak tertentu dengan syarat
diganti pada hari yang lain dan demikian juga halnya dengan orang yang sedang
sakit. Kebolehan meng-qasar shalat adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan
hajiyat ini.
Dalam lapangan mu’amalat
disyariatkan banyak macam kontrak (akad), serta macam-macam jual-beli, dan
beberapa hukum rukhshah dalam mu’amalat. Dalam lapangan ‘uqubat
(sanksi hukum), Islam mensyariatkan hukuman diyat (denda) bagi pembunuhan tidak
sengaja, dan menangguhkan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri
karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan. Suatu kesempitan
menimbulkan keringanan dalam syariat Islam adalah ditarik dari
petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur’an juga. Misalnya, ayat 6 Surat al-Maidah:
$tB.... ßÌã
ª!$#
@yèôfuÏ9
Nà6øn=tæ
ô`ÏiB
8ltym
ÏÈ..........
“Dan Dia (Allah)
tidak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS.
Al-Maidah/5:6)
Dan ayat 78 Surat
al-Hajj:
$tBur ....... @yèy_
ö/ä3øn=tæ
Îû
ÈûïÏd9$#
ô`ÏB
8ltym
.......4
ÇÐÑÈ
.... Allah tidak
hendak menyulitkan kamu .... (QS. Al-Hajj/22:78)
c.
Kebutuhan Tahsiniyat
Kebutuhan tahsiniyat ialah tingkat
kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu
dari lima pokok diatas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan
ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan al-Syatibi, hal-hal yang
merupakan kepatutan menurut adat-istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak
enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan
norma dan akhlak.
Dalam berbagai bidang kehidupan, seperti
ibadat, mu’amalat, dan ‘uqubat, Allah telah mensyariatkan hal-hal
yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat. Dalam lapangan ibadat, kata Abd
Wahhab Khallaf, umpamanya Islam mensyariatkan bersuci baik dari najis atau dari
hadas, baik pada badan maupun pada tempat dan lingkungan. Islam menganjurkan
berhias ketika hendak ke masjid, menganjurkan memperbanyak ibadah sunnah.
Dalam lapangan mu’amalat Islam
melarang boros, kikir, menaikan harga, monopoli, dan lain-lain. Dalam bidang ‘uqubat
Islam mengharamkan membunuh anak-anak dalam peperangan dan kaum wanita,
melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam peperangan).
Tujuan Syariat seperti tersebut tadi bisa
disimak dalam beberapa ayat, misalnya ayat 6 Surat al-Maidah:
`Å3»s9ur....... ßÌã
öNä.tÎdgsÜãÏ9
§NÏGãÏ9ur
¼çmtGyJ÷èÏR
öNä3øn=tæ
öNà6¯=yès9
crãä3ô±n@
ÇÏÈ
Tetapi Dia (Allah)
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu
bersyukur. (QS. Al-Maidah/5:6)[5]
C. Urutan Maqashid as-Syari’ah
Sebagaimana diterangkan di awal bahwa maqashid
as-syari’ah adalah untuk menegakkan dan memelihara ummur ad-dharuriyat
itu adalah tujuan yang sangat penting, sebab bila kebutuhan dharuriyat
itu tidak tercapai maka kehidupan manusia akan berantakan dan kemaslahatan umum
akan musnah. Berikutnya adalah kebutuhan hajiyat, kebutuhan ini
setingkat lebih rendah daripada yang pertama, lantaran jika sekiranya tidak
tercapai hanya akan membawa kesulitan bagi manusia, tidak sampai membawa
kehancuran hidup. Tingkatan yang terakhir adalah kebutuhan tahsiniyat,
tidak terpenuhi kebutuhan ini dalam kehidupan manusia tidaklah sekacau
sekiranya kebutuhan dharuriyat dan tidak sesulit kebutuhan hajiyat
jika tidak terwujud. Hanya saja tidak terpenuhinya kebutuhan tahsiniyat
tata hidup manusia kurang sempurna dan tidak harmonis.
Atas
dasar itulah hukum-hukum dan peraturan yang ditetapkan untuk memelihara urusan dharuriyat
lebih hak untuk dipelihara. Kemudian hukum-hukum yang dibuat untuk urusan hajiyat
dan tahsiniyat.
Pada
hakikatnya hukum tahsiniy dianggap sebagai penyempurna hukum hajiy
dan hukum hajiy sebagai penyempurna hukum dharuriy. Oleh karena
itu, urusan daruriyat menjadi dasar seluruh maqashid as-syari’ah.[6] Barangsiapa
yang mengabaikan urusan hajiyat dan tahsiniyat maka ia juga
mengabaikan hukum dharuriyat.
Shalat
adalah urusan dharuriyat untuk memelihara agama, dan menghadap kiblat
adalah sebagai penyempurna. Oleh karena itu, tidak boleh menggugurkan shalat
disebabkan kehilangan kiblat.
Makan
dan minum adalah urusan dharuriyat untuk menjaga jiwa seseorang. Sedang
menjauhi barang-barang yang najis termasuk urusan tahsiniyat dan sebagai
pelengkap. Oleh karena itu, apabila seseorang tidak mendapatkan makanan yang
menghidupi, ia diperkenankan makan bangkai. Sebab menjaga jiwa dari kehancuran
harus didahulukan daripada menjaga kesucian makanan.
Demikian
juga berobat adalah urusan dharuriyat untuk menjaga jiwa. Sedang menutup
aurat adalah urusan tahsiniyat.[7]
D. Peranan Maqasid as-Syari’ah dalam Pengembangan Hukum
Pengetahuan
tentang maqasid
as-syari’ah, seperti
ditegaskan oleh Abd al-Wahab Khallaf, adalah hal sangat penting yang dapat
dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan
dalil yang bertentangan dan yang sangat penting adalah untuk menetapkan hukum
terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian
kebahasaan.
Metode istinbat, seperti qiyas,
istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum islam yang
didasarkan atas maqasid as-syrai’ah.
Qiyas, misalnya, baru bisa dilaksanakan bila mana ditemukan maqasid as-syari’ahnya
yang merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh,
tentang kasus diharamkannya minuman khamr (QS.Al-Maidah: 90). Dari hasil
penelitian ulama ditemukan bahwa maqasid as-syari’ah dari diharamkannya
khamr ialah karena sifat memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan
demikian, yang menjadi alasan logis(‘illat) dari keharaman khamr adalah
sifat memabukkannya, sedangkan khamr itu sendiri hanyalah sebagai salah satu
contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan
metode analogi (Qiyas) bahwa setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga
haram. Dengan demikian, ‘illat hukum dalam suatu ayat atau hadits bila
diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi). Artinya, qiyas
hanya bisa dilakukan bila mana ada ayat atau hadits yang secara khusus dapat
dijadikan tempat meng-qiyas-kannya yang dikenal
dengan al-maqis ‘alaih
(tempat meng-qiyas-kan).
Jika tidak ada ayat atau hadits
secara khusus yang akan dijadikan al-maqis ‘alaih, tetapi termasuk
kedalam tujuan syari’at secara umum seperti untuk memelihara sekurangnya salah
satu dari kebutuhan-kebutuhan diatas tadi, dalam hal ini dilakukan metode maslahah
mursalah. Dalam kajian Ushul
Fiqh, apa yang dianggap maslahat
bila sejalan atau tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at, dapat diakui sebagai
landasan hukum
yang dikenal dengan maslahat mursalah.
Jika yang akan diketahui hukumnya
itu telah ditetapkan hukumnya dalam nash atau melalui qiyas, kemudian
karena dalam satu kondisi bila ketentuan itu diterapkan akan berbenturan dengan
ketentuan atau kepentingan lain yang lebih umum dan lebih layak menurut syara’ untuk
dipertahankan, maka ketentuan itu dapat ditinggalkan, khusus dalam kondisi
tersebut. Ijtihad seperti ini dikenal dengan istihsan. Metode penetapan
hukum melalui maqashid
as-syariah
dalam praktik-praktik istinbat
tersebut, yaitu praktik
qiyas, istihsan, dan istislah (maslahah mursalah), dan lainnya
seperti istishab, syadz al-dzari’ah, dan urf (adat kebiasaan), disamping
disebut sebagai metode penetapan hukum melalui maqashid as-syari’ah
juga sebagian besar ulama ushul fiqh disebut sebagai dalil-dalil
pendukung, seperti
telah diuraikan secara singkat pada pembahasan dalil-dalil hukum diatas.
IV.
KESIMPULAN
Secara bahasa
(etimologi), maqashid as-syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqahsid
dan as-syari’ah. Maqashid (مقاصد ( berarti bentuk jama’ dari maqshud (
مقصود
) yang barasal dari suku kata qashada ( قصد ) yang artinya kesengajaan atau tujuan. Syari’ah
artinya jalan menuju sumber air yang dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah
sumber pokok kehidupan. Sedangkan menurut istilah (terminologi) maqashid
as-syari’ah adalah kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyari’atan hukum.
Adapun manfaat mempelajari maqashid as-syari’ah adalah
sebagai berikut:
e. Mengungkapkan tujuan, alasan, dan hikmah tasyri’
f. Menegaskan karakteristik Islam yang sesuai dengan tiap
zaman
g. Membantu ulama’ berijtihad dalam bingkai tujuan syariat
Islam
h. Mempersempit perselisihan dan ta’shub di antara pengikut
mazhab fiqh
Abu Ishaq
al-Syatibi berpandangan bahwa tujuan utama dari syariah adalah untuk menjaga
dan memperjuangkan tiga kategori hukum, yaitu: dharury, hajiy,
dan tahsiniy. Tujuan dari tiga kategori tersebut ialah untuk memastikan
kaum muslimin baik di dunia maupun di akhirat terwujud dengan cara yang terbaik
karena Tuhan berbuat demi kebaikan hamba-Nya.
Sebagaimana diterangkan di awal bahwa maqashid
as-syari’ah adalah untuk menegakkan dan memelihara ummur ad-dharuriyat
itu adalah tujuan yang sangat penting, sebab bila kebutuhan dharuriyat
itu tidak tercapai maka kehidupan manusia akan berantakan dan kemaslahatan umum
akan musnah. Berikutnya adalah kebutuhan hajiyat, kebutuhan ini
setingkat lebih rendah daripada yang pertama, lantaran jika sekiranya tidak
tercapai hanya akan membawa kesulitan bagi manusia, tidak sampai membawa
kehancuran hidup. Tingkatan yang terakhir adalah kebutuhan tahsiniyat,
tidak terpenuhi kebutuhan ini dalam kehidupan manusia tidaklah sekacau sekiranya
kebutuhan dharuriyat dan tidak sesulit kebutuhan hajiyat jika
tidak terwujud. Hanya saja tidak terpenuhinya kebutuhan tahsiniyat tata
hidup manusia kurang sempurna dan tidak harmonis.
Pengetahuan tentang maqasid as-syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd
al-Wahab Khallaf, adalah hal sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu
untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil yang
bertentangan dan yang sangat penting adalah untuk menetapkan hukum terhadap
kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.
V.
PENUTUP
Syukur Alhamdulillah pemakalah haturkan kepada Allah SWT
dengan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfa’at bagi kita semua. Amin.
[1] Muhammad
Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2013), Hlm. 126
[3] Hamka Haq, Al-SYATIBI
Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwafaqat, (PT. Gelora Aksara
Pratama, 2007), Hlm. 95
[7] Muhammad
Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Hlm. 109-110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar