Senin, 09 Juni 2014

makalah maqashid as-syari'ah

MAQASHID AS-SYARI’AH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Semester Genap
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Ridwan, M.Ag




Disusun oleh:

1.      Dewi Aminatul Zahro                   (133111160)
2.      U’thiya Ni’matur Robiah              (133111162)
3.      Khoirrosyid Oktifu’adi                 (133111163)





FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

I.                   PENDAHULUAN
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW adalah sebagai sumber utama hukum Islam yang bersifat wajib, atau mutlaq di percayai dan di anut oleh seorang muslim, selain menunjukkan hukum dengan bunyi bahasanya juga dengan ruh tasyri’ atau Maqasid Syari’ah.
Melalui Maqasid Syari’ah inilah ayat-ayat dan hadits-hadits hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan–permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh al-Quran dan Sunnah. Pengembangan ini dengan menggunakan metode istinbat seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan ‘urf yang juga disebut sebagai dalil.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian dari Maqashid as-Syari’ah?
B.     Apa manfaat mempelajari dan tujuan umum Maqashid as-Syari’ah?
C.     Bagaimana urutan Maqashid as-Syari’ah?
D.    Apa peranan Maqashid as-Syari’ah dalam pengembangan hukum?

III.             PEMBAHASAN
A.       Pengertian Maqashid as-Syari’ah
Secara bahasa (etimologi), maqashid as-syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqahsid dan as-syari’ah. Maqashid (مقاصد  ( berarti bentuk jama’ dari maqshud ( مقصود ) yang barasal dari suku kata qashada ( قصد ) yang artinya kesengajaan atau tujuan. Syari’ah artinya jalan menuju sumber air yang dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Sedangkan menurut istilah (terminologi) maqashid as-syari’ah adalah kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyari’atan hukum.[1]
Maqashid as-syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Allah. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.

B.     Manfaat mempelajari dan tujuan umum Maqashid as-Syari’ah
Adapun manfaat mempelajari maqashid as-syari’ah adalah sebagai berikut:
a.       Mengungkapkan tujuan, alasan, dan hikmah tasyri’
b.      Menegaskan karakteristik Islam yang sesuai dengan tiap zaman
c.       Membantu ulama’ berijtihad dalam bingkai tujuan syariat Islam
d.      Mempersempit perselisihan dan ta’shub di antara pengikut mazhab fiqh
Syari’( شارع ) dalam menciptakan syari’at (undang-undang) bukanlah sembarangan, tanpa arah, melainkan bertujuan untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan dan menghindarkan ke-mafsadah-an bagi umat manusia.
Mengetahui tujuan umum diciptakan perundang-undangan itu sangat penting agar dapat menarik hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya secara tepat dan benar dan selanjutnya dapat menetapkan hukum peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya.[2]
Tujuan maqashid as-Syari’ah adalah untuk kemaslahatan manusia. Kemaslahatan dapat terealisasikan dengan baik jika lima unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu:
a.       Agama
b.      Jiwa
c.       akal
d.      keturunan
e.       harta [3]
Tujuan syari’ (شارع  ) dalam mensyari’atkan ketentuan-ketentuan hukum kepada orang-orang mukallaf adalah dalam upaya mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi kehidupan mereka, baik melalui ketentuan-ketentuan yang dharury, hajiy, dan tahsiniy.
Abu Ishaq al-Syatibi berpandangan bahwa tujuan utama dari syariah adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum, yaitu: dharury, hajiy, dan tahsiniy. Tujuan dari tiga kategori tersebut ialah untuk memastikan kaum muslimin baik di dunia maupun di akhirat terwujud dengan cara yang terbaik karena Tuhan berbuat demi kebaikan hamba-Nya.[4]
a.       Kebutuhan Dharuriyat
      Kebutuhan dharuriyat ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dharuriyat dilakukan dalam dua pengertian yaitu, pada satu sisi kebutuhan itu harus diwujudkan dan diperjuangkan, sementara di sisi lain segala hal yang dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan tersebut harus disingkirkan.
       Misalnya, firman Allah dalam mewajibkan jihad:

öNèdqè=ÏG»s%ur 4Ó®Lym Ÿw tbqä3s? ×poY÷FÏù tbqä3tƒur ßûïÏe$!$# ¬! ( ÈbÎ*sù (#öqpktJR$# Ÿxsù tbºurôãã žwÎ) n?tã tûüÏHÍ>»©à9$# ÇÊÒÌÈ  

”Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan sehingga ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah”. (QS.Al-Baqarah: 193).
Dan firman-Nya dalam mewajibkan qishash:
öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quŠym Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÐÒÈ  

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (QS.Al-Baqarah/2:179)

      Dari ayat pertama dapat diketahui tujuan disyariatkan perang adalah untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi gangguan dan mengajak umat manusia untuk menyembah Allah. Dan dari ayat kedua diketahui bahwa mengapa disyariatkan qishash karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.


b.      Kebutuhan Hajiyat
      Kebutuhan hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, dimana bilamana tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan itu. Adanya hukum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Adb al-Wahhab Khallaf, adalah sebagai contoh dari kepedulian Syariat Islam terhadap kebutuhan ini.
      Dalam lapangan ibadat, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhshah (keringanan) bilamana kenyataannya mendapat kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif. Misalnya, Islam memperbolehkan tidak berpuasa bilamana dalam perjalanan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain dan demikian juga halnya dengan orang yang sedang sakit. Kebolehan meng-qasar shalat adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan hajiyat ini.
      Dalam lapangan mu’amalat disyariatkan banyak macam kontrak (akad), serta macam-macam jual-beli, dan beberapa hukum rukhshah dalam mu’amalat. Dalam lapangan ‘uqubat (sanksi hukum), Islam mensyariatkan hukuman diyat (denda) bagi pembunuhan tidak sengaja, dan menangguhkan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan. Suatu kesempitan menimbulkan keringanan dalam syariat Islam adalah ditarik dari petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur’an juga. Misalnya, ayat 6 Surat al-Maidah:
$tB.... ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym ÏÈ..........  

“Dan Dia (Allah) tidak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Maidah/5:6)
Dan ayat 78 Surat al-Hajj:
$tBur ....... Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym .......4 ÇÐÑÈ  

.... Allah tidak hendak menyulitkan kamu .... (QS. Al-Hajj/22:78)

c.       Kebutuhan Tahsiniyat
      Kebutuhan tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok diatas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan al-Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.
      Dalam berbagai bidang kehidupan, seperti ibadat, mu’amalat, dan ‘uqubat, Allah telah mensyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat. Dalam lapangan ibadat, kata Abd Wahhab Khallaf, umpamanya Islam mensyariatkan bersuci baik dari najis atau dari hadas, baik pada badan maupun pada tempat dan lingkungan. Islam menganjurkan berhias ketika hendak ke masjid, menganjurkan memperbanyak ibadah sunnah.
      Dalam lapangan mu’amalat Islam melarang boros, kikir, menaikan harga, monopoli, dan lain-lain. Dalam bidang ‘uqubat Islam mengharamkan membunuh anak-anak dalam peperangan dan kaum wanita, melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam peperangan).
      Tujuan Syariat seperti tersebut tadi bisa disimak dalam beberapa ayat, misalnya ayat 6 Surat al-Maidah:
`Å3»s9ur....... ߃̍ムöNä.tÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 šcrãä3ô±n@ ÇÏÈ  

Tetapi Dia (Allah) hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Maidah/5:6)[5]



C.     Urutan Maqashid as-Syari’ah
Sebagaimana diterangkan di awal bahwa maqashid as-syari’ah adalah untuk menegakkan dan memelihara ummur ad-dharuriyat itu adalah tujuan yang sangat penting, sebab bila kebutuhan dharuriyat itu tidak tercapai maka kehidupan manusia akan berantakan dan kemaslahatan umum akan musnah. Berikutnya adalah kebutuhan hajiyat, kebutuhan ini setingkat lebih rendah daripada yang pertama, lantaran jika sekiranya tidak tercapai hanya akan membawa kesulitan bagi manusia, tidak sampai membawa kehancuran hidup. Tingkatan yang terakhir adalah kebutuhan tahsiniyat, tidak terpenuhi kebutuhan ini dalam kehidupan manusia tidaklah sekacau sekiranya kebutuhan dharuriyat dan tidak sesulit kebutuhan hajiyat jika tidak terwujud. Hanya saja tidak terpenuhinya kebutuhan tahsiniyat tata hidup manusia kurang sempurna dan tidak harmonis.
Atas dasar itulah hukum-hukum dan peraturan yang ditetapkan untuk memelihara urusan dharuriyat lebih hak untuk dipelihara. Kemudian hukum-hukum yang dibuat untuk urusan hajiyat dan tahsiniyat.
Pada hakikatnya hukum tahsiniy dianggap sebagai penyempurna hukum hajiy dan hukum hajiy sebagai penyempurna hukum dharuriy. Oleh karena itu, urusan daruriyat menjadi dasar seluruh maqashid as-syari’ah.[6] Barangsiapa yang mengabaikan urusan hajiyat dan tahsiniyat maka ia juga mengabaikan hukum dharuriyat.
Shalat adalah urusan dharuriyat untuk memelihara agama, dan menghadap kiblat adalah sebagai penyempurna. Oleh karena itu, tidak boleh menggugurkan shalat disebabkan kehilangan kiblat.
Makan dan minum adalah urusan dharuriyat untuk menjaga jiwa seseorang. Sedang menjauhi barang-barang yang najis termasuk urusan tahsiniyat dan sebagai pelengkap. Oleh karena itu, apabila seseorang tidak mendapatkan makanan yang menghidupi, ia diperkenankan makan bangkai. Sebab menjaga jiwa dari kehancuran harus didahulukan daripada menjaga kesucian makanan.
Demikian juga berobat adalah urusan dharuriyat untuk menjaga jiwa. Sedang menutup aurat  adalah urusan tahsiniyat.[7]


D.    Peranan Maqasid as-Syari’ah dalam Pengembangan Hukum
Pengetahuan tentang maqasid as-syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahab Khallaf, adalah hal sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil yang bertentangan dan yang sangat penting adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.
                        Metode istinbat, seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah  metode-metode pengembangan hukum islam yang didasarkan atas maqasid as-syrai’ah. Qiyas, misalnya, baru bisa dilaksanakan bila mana ditemukan maqasid as-syari’ahnya yang merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus diharamkannya minuman khamr (QS.Al-Maidah: 90). Dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqasid as-syari’ah dari diharamkannya khamr ialah karena sifat memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi alasan logis(‘illat) dari keharaman khamr adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamr itu sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
                        Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (Qiyas) bahwa setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘illat hukum dalam suatu ayat atau hadits bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi). Artinya, qiyas hanya bisa dilakukan bila mana ada ayat atau hadits yang secara khusus dapat dijadikan tempat meng-qiyas-kannya yang dikenal dengan al-maqis alaih (tempat meng-qiyas-kan).
                        Jika tidak ada ayat atau hadits secara khusus yang akan dijadikan al-maqis ‘alaih, tetapi termasuk kedalam tujuan syari’at secara umum seperti untuk memelihara sekurangnya salah satu dari kebutuhan-kebutuhan diatas tadi, dalam hal ini dilakukan metode maslahah mursalah. Dalam kajian Ushul Fiqh, apa yang dianggap maslahat bila sejalan atau tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at, dapat diakui sebagai landasan hukum yang dikenal dengan maslahat mursalah.
                        Jika yang akan diketahui hukumnya itu telah ditetapkan hukumnya dalam nash atau melalui qiyas, kemudian karena dalam satu kondisi bila ketentuan itu diterapkan akan berbenturan dengan ketentuan atau kepentingan lain yang lebih umum dan lebih layak menurut syara’ untuk dipertahankan, maka ketentuan itu dapat ditinggalkan, khusus dalam kondisi tersebut. Ijtihad seperti ini dikenal dengan istihsan. Metode penetapan hukum melalui maqashid as-syariah dalam praktik-praktik istinbat tersebut, yaitu praktik qiyas, istihsan, dan istislah (maslahah mursalah), dan lainnya seperti istishab, syadz al-dzari’ah, dan urf (adat kebiasaan), disamping disebut sebagai metode penetapan hukum melalui maqashid as-syari’ah juga sebagian besar ulama ushul fiqh disebut sebagai dalil-dalil pendukung, seperti telah diuraikan secara singkat pada pembahasan dalil-dalil hukum diatas.

IV.             KESIMPULAN
Secara bahasa (etimologi), maqashid as-syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqahsid dan as-syari’ah. Maqashid (مقاصد  ( berarti bentuk jama’ dari maqshud ( مقصود ) yang barasal dari suku kata qashada ( قصد ) yang artinya kesengajaan atau tujuan. Syari’ah artinya jalan menuju sumber air yang dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Sedangkan menurut istilah (terminologi) maqashid as-syari’ah adalah kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyari’atan hukum.
Adapun manfaat mempelajari maqashid as-syari’ah adalah sebagai berikut:
e.       Mengungkapkan tujuan, alasan, dan hikmah tasyri’
f.       Menegaskan karakteristik Islam yang sesuai dengan tiap zaman
g.      Membantu ulama’ berijtihad dalam bingkai tujuan syariat Islam
h.      Mempersempit perselisihan dan ta’shub di antara pengikut mazhab fiqh
Abu Ishaq al-Syatibi berpandangan bahwa tujuan utama dari syariah adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum, yaitu: dharury, hajiy, dan tahsiniy. Tujuan dari tiga kategori tersebut ialah untuk memastikan kaum muslimin baik di dunia maupun di akhirat terwujud dengan cara yang terbaik karena Tuhan berbuat demi kebaikan hamba-Nya.
Sebagaimana diterangkan di awal bahwa maqashid as-syari’ah adalah untuk menegakkan dan memelihara ummur ad-dharuriyat itu adalah tujuan yang sangat penting, sebab bila kebutuhan dharuriyat itu tidak tercapai maka kehidupan manusia akan berantakan dan kemaslahatan umum akan musnah. Berikutnya adalah kebutuhan hajiyat, kebutuhan ini setingkat lebih rendah daripada yang pertama, lantaran jika sekiranya tidak tercapai hanya akan membawa kesulitan bagi manusia, tidak sampai membawa kehancuran hidup. Tingkatan yang terakhir adalah kebutuhan tahsiniyat, tidak terpenuhi kebutuhan ini dalam kehidupan manusia tidaklah sekacau sekiranya kebutuhan dharuriyat dan tidak sesulit kebutuhan hajiyat jika tidak terwujud. Hanya saja tidak terpenuhinya kebutuhan tahsiniyat tata hidup manusia kurang sempurna dan tidak harmonis.
Pengetahuan tentang maqasid as-syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahab Khallaf, adalah hal sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil yang bertentangan dan yang sangat penting adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.

V.                PENUTUP
Syukur Alhamdulillah pemakalah haturkan kepada Allah SWT dengan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfa’at bagi kita semua. Amin.











[1] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), Hlm. 126
[2] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Hlm. 107-108
[3] Hamka Haq, Al-SYATIBI Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwafaqat, (PT. Gelora Aksara Pratama, 2007), Hlm. 95
[4]  Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Hlm. 105
[5] Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), Hlm. 234-236
[6] Abdullah Rofi’i, Ushul Fiqh Juz 3, ( Ponorogo: Darussalam Press, 2010), Hlm. 42
[7] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Hlm. 109-110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar